Beliau adalah Ummu Abdullah
al-Qurasyiyah at-Tamiyah putri dari seorang laki-laki yang pertama masuk
Islam setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, penghulu kaum
muslimin yakni Abu Bakar ash-Shiddiq sedangkan ibunya bernama Qatilah
binti Abdul Uzza al-Amiriyah.
Asma` adalah ibu dari sahabat seorang
pejuang yang bernama Abdullah bin Zubeir. Beliau adalah saudari dari
Ummul mukminin `Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mana usia beliau lebih
tua belasan tahun daripada Aisyah. Beliau adalah wanita muhajirah yang
paling akhir wafat.
Asma’ masuk Islam setelah ada tujuh
orang yang masuk Islam. Beliau membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan beriman kepadanya dengan iman yang kuat. Di antara tanda
baiknya Islam beliau adalah tatkala ibunya yang bernama Qatilah (telah
diceraikan oleh Abu Bakar tatkala zaman jahiliyah) mendatanginya dan
mengunjunginya, beliau enggan menemuinya dan menolak hadiah darinya. Di
dalam Shahihain dari Asma` binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha berkata,
“Ibuku mendatangiku sedangkan dia masih musyrik pada zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka saya meminta fatwa kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya ibuku
mendatangi diriku dengan penuh harap, apakah aku boleh berhubungan
dengannya?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya
berhubunganlah dengan ibumu.”
Adapun beliau dipanggil dengan “Dzatun
Nithaqain” (pemilik dua ikat pinggang) karena beliau pernah membelah
ikat pinggangnya menjadi dua untuk mempermudah baginya dalam membawa dan
menyembunyikan makanan dan minuman yang akan beliau kirim ke gua Tsur
untuk Rasulullah tatkala beliau hijrah. Manakala Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat apa yang telah dilakukan oleh Asma’ terhadap
ikat pinggangnya tersebut maka beliau memberi julukan kepadanya “Dzatun
Nithaqain” (pemilik dua ikat pinggang).
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berhijrah dari Makkah menuju Madinah dengan ditemani oleh Abu
Bakar yang membawa seluruh hartanya yang berjumlah 5.000 atau 6.000
dinar, maka datanglah kakeknya yang bernama Abu Quhafah yang telah
hilang penglihatannya seraya berkata, “Sesungguhnya Abu Bakar itu hendak
mencelakakan kalian dengan membawa seluruh harta dan jiwanya.” Maka
tiadalah yang diperbuat oleh seorang gadis yang suci dan pemberani
tersebut melainkan berkata, “Jangan begitu… beliau telah meninggalkan
bagi kita harta yang baik dan yang banyak.” Kemudian beliau mengambil
batu-batu dan beliau letakkan di lubang dinding lalu beliau tutupi
dengan kain dan beliau pegang tangan kakeknya lalu beliau sentuhkan
tangan kakeknya pada kain tersebut sambil berkata, “Inilah yang beliau
tinggalkan buat kita.” Abu Quhafah berkata, “Jika dia telah meninggalkan
bagi kalian barang-barang ini ya sudah.” Dengan hal itu beliau telah
meredam kemarahan kakeknya, menenangkan fikirannya dan menentramkan
hatinya.
Ketika masih kecil Dzatun Nithaqain
telah menghadapi gangguan dari musuh Allah Abu Jahal yang datang
kepadanya untuk memaksanya agar memberitahukan rahasia tempat ayahnya.
Akan tetapi beliau tetap menjaga tanggung jawab sekalipun masih berusia
muda, beliau menyadari bahwa satu kata yang keluar dari mulutnya bisa
menyebabkan bahaya besar menimpa Rasulullah dan ayahnya. maka beliau
hanya diam dan tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya selain, “Aku
tidak tahu.” Maka si musuh Allah itu akhirnya menampar beliau dengan
tamparan yang keras hingga jatuh anting-antingnya, kemudian meninggalkan
beliau dan pergi dengan menyimpan kejengkelan menghadapi gadis yang
dianggap keras kepala tersebut.
Begitulah kelakuan orang yang kejam pada
setiap masa, manakala tidak bisa memukul dan membunuh laki-laki, mereka
memukul wanita dan anak-anak.
Tidak lama kemudian Asma` menyusul ke
negeri hijrah dan di sanalah beliau melahirkan Abdullah, anak pertama
yang dilahirkan dalam Islam.
Sungguh Dzatun Nithaqain telah
memberikan contoh hidup dan teladan yang baik dalam hal sabar menghadapi
kesulitan hidup dan serba kekurangan, senantiasa berusaha taat kepada
swami dan menjaga keridhaan suaminya. Telah disebutkan di dalam hadits
yang shahih beliau berkata:
“Zubeir menikahiku sedangkan dia tidak
memiliki apa-apa kecuali kudanya. Akulah yang mengurusnya dan memberinya
makan, dan aku pula yang mengairi pohon kurma, mencari air dan mengadon
roti. Aku juga mengusung kurma yang dipotong oleh Rasulullah dari
tanahnya Zubeir yang aku sunggi di atas kepalaku sejauh dua pertiga
farsakh (kira-kira 2 km). Pada suatu hari tatkala saya sedang mengusung
kurma di atas kepala, saya bertemu dengan Rasulullah bersama seseorang.
Beliau bersabda “ikh… ikh…” (ucapan untuk menghentikan kendaraan-pent)
dengan maksud agar aku naik kendaraan di belakangnya namun saya merasa
malu dan saya ingat Zubeir dan rasa cemburunya, maka beliau berlalu.
Tatkala saya sampai di rumah, aku kabarkan hal itu kepada Zubeir lalu
dia berkata, “Demi Allah engkau mengusung kurma tersebut lebih berat
bagiku dari pada engkau mengendarai kendaraan bersama beliau.” Kemudian
Asma’ radhiyallahu ‘anha berkata, “Sampai akhirnya Abu Bakar mengirim
pembantu setelah itu, sehingga saya merasa cukup untuk mengurusi kuda,
seakan-akan dia telah membebaskanku.”
Setelah semua kesabaran itu hasilnya
adalah beliau dan suaminya mendapatkan banyak nikmat, akan tetapi beliau
tidak sombong dengan kekayaannya. Bahkan beliau adalah seorang yang
dermawan dan pemurah dan tidak suka menyimpan sesuatu untuk besok.
Apabila sakit, beliau menunggu hingga sembuh kemudian beliau merdekakan
semua budak yang dia miliki serta berkata kepada anak-anaknya,
“Berinfaklah dan bersedekahlah clan janganlah kalian menunggu banyaknya
harta.
Asma` radhiyalahu ‘anha adalah seorang wanita yang pemberani tidak takut
celaan dari orang yang suka mencela di jalan di Allah. Beliau juga
menyertai perang Yarmuk dan beliau berperang sebagaimana layaknya para
pejuang.
Tatkala banyaknya pencuri di Madinah
pada masa Said bin Ash, beliau mengambil pisau dan beliau letakkan di
bawah kepalanya. Tatkala beliau ditanya, apa yang akan anda perbuat
dengan pisau itu? Beliau menjawab, “Apabila ada pencuri masuk ke rumahku
maka akan aku robek perutnya.”
Adapun tentang kebulatan tekad dan
kebesaran jiwa yang dimiliki oleh Asma` kita dapat mengenalinya dari
nasihat beliau kepada putranya yakni Abdullah pada saat Abdullah menemui
beliau untuk meminta pertimbangan tatkala Hajjaj mengepung Makkah.
Ketika itu Asma’ telah berusia senja mendekati 100 tahun. Abdullah
berkata, “Wahai ibu sungguh orang-orang telah menghinaku bahkan
keluargaku dan anakku, sehingga tiada lagi yang bersamaku melainkan
sedikit yang mereka tidak kuasa melawan, sedangkan ada kaum yang
menawariku dengan dunia, maka bagaimana pendapat ibu?” Dalam menghadapi
ujian yang sulit bagi seorang ibu tersebut hilanglah rasa lemah dan
menguatlah rasa wibawa dan kemuliaan beliau berkata kepada putranya:
“Adapun engkau wahai anakku, lebih
mengetahui terhadap dirimu. Jika kamu mengetahui bahwa engkau di atas
kebenaran dan mengajak kepada kebenaran, maka kerjakanlah. Sungguh telah
terbunuh sahabat-sahabatmu karenanya, sedangkan tidak mungkin engkau
dipermainkan oleh anak-anak Bani Umayah. Jika engkau hanya menginginkan
dunia, maka seburuk-buruk hamba adalah engkau, dan berarti kamu telah
membinasakan dirimu sendiri, dan telah membinasakan orang yang berperang
bersamamu.”
Abdullah berkata, “Demi Allah ini adalah
pendapat yang bagus wahai ibu, akan tetapi saya takut jika penduduk
Syam membunuhku dan mencincang tubuhku lalu menyalibku.” Maka sang ibu
menjawab, “Wahai anakku…sesungguhnya kambing tidak lagi merasakan sakit
dipotong-potong tubuhnya setelah disembelih.
Maka berangkatlah dengan
bashirahmu dan mintalah pertolongan kepada Allah.”
Tatkala Asma` menjumpai Abdullah untuk
mengucapkan perpisahan dan merangkulnya, beliau memegang baju besi yang
dikenakan anaknya dan berkata, “Apa ini wahai Abdullah apa yang kamu
kehendaki?” Maka ditanggalkanlah baju besi tersebut dan keluarlah
Abdullah untuk berperang dan beliau senantiasa teguh dan berani dalam
menyerang musuh hingga beliau terbunuh. Hajjaj memerintahkan pasukannya
agar mayat beliau disalib. Kemudian dia mendatangi Asma` dan berkata,
“Wahai ibu sesungguhnya Amirul Mukminin telah berwasiat kepadaku agar
menanyakan kebutuhan anda.” Beliau menjawab, ‘Aku bukanlah ibumu akan
tetapi ibu dari orang yang disalib di atas pohon (Abdullah). Adapun aku
tidak memiliki keperluan apa-apa selain aku beritahukan kepadamu bahwa
aku telah mendengar Rasulullah bersabda:
"Akan muncul di Tsaqif seorang pendusta dan seorang perusak. Adapun sang
pendusta kita telah mengetahuinya, sedangkan seorang perusak itu adalah
kamu.”
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa
tatkala Hajjaj menemui Asma` dia berkata dengan sombong, “Bagaimana
pendapatmu tentang apa yang telah aku perbuat terhadap anakmu wahai
Asma`?” Asma` menjawab dengan tenang, “Engkau telah merusak dunianya,
namun dia (Abdullah) telah merusak akhiratmu.”
Asma` radhiyallahu ‘anha wafat di Makkah
beberapa hari setelah terbunuhnya putra beliau Abdullah sebagaimana
yang disebutkan oleh Ibnu Sa’ad. Adapun terbunuhnya Abdullah pada
tanggal 17 Jumadil ‘ula tahun 73 Hijriyah. Tak ada satupun gigi beliau
yang telah tanggal, akalnyapun masih jernih dan belum pikun (padahal
telah berumur seratus tahun).
Semoga Allah merahmati Asma’ Dzatun
Nithaqain karena beliau berhak untuk menjadi teladan yang diikuti dan
juga contoh yang baik untuk dirimu.
0 komentar:
Posting Komentar